Rabu, November 23, 2011

polemik AHO

Sejak sekitar 4 tahun yang lalu, polantas di Surabaya mencoba metode baru untuk mengurangi tingkat kecelakaan, yaitu dengan mewajibkan (meski saat itu hanya berupa himbauan dan sosialisasi) pengendara sepeda motor / R2 untuk menyalakan lampu utama di siang hari. Setelah beberapa tahun dicoba dan dianggap berhasil menekan angka kecelakaan, aturan ini pun dicoba di Jakarta dan beberapa kota lainnya hingga akhirnya aturan itu menjadi undang-undang yang berlaku di seluruh Indonesia, beserta aturan-aturan lainnya yang berhubungan dengan kenyamanan dan keamanan lalu lintas. Tak berselang lama setelah undang-undang tersebut disahkan, pabrikan motor di Indonesia pun meng-update line up mereka dengan fitur AHO alias Auto Headlamp On alias lampu utama otomatis nyala saat motor dinyalakan. Fitur ini secara otomatis menghilangkan keberadaan switch on/off lampu dari setang, dan ini berarti pengendara tidak dapat mematikan lampu motor mereka.

Di luar negeri, fitur ini bukanlah fitur baru. Semua mobil dan motor sudah menggunakan fitur ini, hanya saja sistemnya yang berbeda dan namanya juga berbeda, yaitu DRL alias Daytime Running Light atau Daylight Running Lamp. Lampu utama akan menyala dengan intensitas cahaya yang redup (reduced voltage) seperti lampu senja. Selain untuk menghemat energi, cahaya yang redup juga tidak akan menyilaukan orang lain. Bahkan, untuk lebih menghemat energi, sejak tahun 2011 Uni Eropa mewajibkan DRL berbentuk rangkaian lampu LED.

Namun, entah karena untuk menghemat ongkos produksi atau karena latah dan tidak paham, pabrikan motor di sini membuat sistem AHO dimana lampu utama akan menyala dengan intensitas penuh (full voltage). Di satu sisi, pengendara motor tidak akan ditilang karena tidak/lupa menyalakan lampu utama. Pengendara pun akan lebih aman di jalan raya karena terlihat di spion kendaraan di depannya......katanya sih gitu. Di sisi lain, pengendara akan terancam digebukin, minimal dipisuhin, preman/pemuda mabuk yang nongkrong di pos karena dianggap tidak sopan saat melewati gang sempit atau masuk ke komplek perumahan. Selain itu, jika aki lemah, maka motor pun akan susah distarter.

Untuk motor dengan lampu yang kecil atau yang terletak di body, seperti yang ada di beberapa skutik dan bebek low entry, mungkin tidak akan terlalu menyilaukan. Tapi bagaimana dengan motor dengan lampu utama ganda di setang, seperti Honda Supra X, Honda New Blade, Yamaha Jupiter Z, Suzuki Shogun Axelo...? Sorot lampu 2x25 W pun langsung ke mata meski cuma low beam. Lebih parah lagi AHO yang diterapkan di motor laki/sport, seperti Yamaha Vixion. Lampu H4 yang terang benderang sangat menyilaukan mata.

Masalah berlanjut pada efisiensi energi. Pada sistem AHO, karena lampu utama (dan lampu senja jika ada) menyala, maka lampu belakang pun juga ikut menyala. Sebagai contoh, pada Jupiter Z tahun 2010, jika dihitung kasar, 2 lampu utama + 2 lampu senja + lampu belakang = (2x25) + (2x3,4) + 5 = 50 + 6,8 + 5 = 61,8 Watt !!!! Jika ditambah dengan lampu indikator 1,7 W, maka akan menjadi 63,5 Watt !!! Bandingkan dengan sistem DRL LED yang tidak sampai 5 Watt.

So, bagaimana menurut anda mengenai peraturan ini...?